Latest Post

Tuesday, 15 March 2016

2.2 Distribusi

Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung sirkulasi darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas dua fase, berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusi sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal dan otak. 

Selanjutnya distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi cepat karena celah antarsel endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terutama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein. 

Obat dapat terakumulasi dalam sel jaringan karena ditransfort secara aktif, atau lebih sering karena ikatannya dengan komponen intrasel yaitu protein, fosfolipid, atau nukeloprotein. Misalnya pada penggunaan kronik, kuinakrin akan menumpuk dalam sel hati. Jaringan lemak dapat berlaku sebagai reservoar yang penting untuk obat larut lemak misalnya tiofental. Protein plasma juga merupakan reservoar obat. Obat yang bersifat asam terutama terikat pada albumin plasma, sedangkan obat yang bersifat basa pada asam α1 glikoprotein. Tulang dapat menjadi reservoar untuk logam berat misalnya timbal (Pb) atau radium.

Cairan transeluler misalnya asam lambung, berlaku sebagai reservoar untuk obat yang bersifat basa lemah akibat perbedaan pH yang besar antara darah dan cairan lambung. Saluran cerna juga berlaku sebagai reservoar untuk obat oral yang diabsorpsi secara lambat, misalnya obat dalam sediaan lepas lambat. Obat yang terakumulasi ini berada dalam keseimbangan dengan obat dalam plasma dan akan dilepaskan sewaktu kadar plasma menurun, maka adanya reservoar ini dapat memperpanjang kerja obat.

Redistribusi obat dari tempat kerjanya ke jaringan lain merupakan salah satu faktor yang dapat menghentikan kerja obat. Fenomen ini hanya terjadi pada obat yang sangat larut lemak, misalnya tiopental. Karena aliran darah ke otak sangat tinggi, maka setelah disuntikan IV, obat ini mencapai kadar maksimal dalam otak. Tetapi karena kadar plasma dengan cepat menurun akibat difusi ke jaringan lain, maka tiofental dalam otak juga secara cepat berdifusi kembali ke dalam plasma untuk selanjutnya diredistribusi ke jaringan lain.

Distribusi dari sirkulasi ke SSP sulit terjadi karena obat harus menembus sawar khusus yang dikenal sebagai sawar darah-otak. Endotel kapiler otak tidak mempunyai celah antarsel maupun vesikel pinositotik, tetapi mempunyai banyak taut cekat (tight junction). Disamping itu terdapat sel glia yang mengelilingi kapiler otak ini. Dengan demikian, obat tidak hanya harus melintasi endotel kapiler tetapi juga membran sel glia perikapiler untuk mencapai cairan interstisial jaringan otak. Karena itu, kemampuan obat untuk menembus sawar dara-otak hanya ditentukan oleh, dan sebanding dengan kelarutan bentuk non ion dalam lemak. Obat yang seluruhnya atau hampir seluruhnya dalam bentuk ion, misalnya amonium kuatener atau penisilin, dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke otak dari darah. Penisiline dosis besar sekali dapat masuk ke otak, tetapi penisilin dosis terapi hanya dapat masuk ke otak bila terdapat radang selaput otak, karena permeabilitas meningkat di tempat radang. Eliminasi obat dari otak kembali ke darah terjadi melalui tiga cara yakni:

  1. Secara transport aktif melalui epitel pleksus koroid dari cairan serebrospinal (CSS) ke kapiler darah untuk ion-ion organik misalnya penisiline.
  2. Secara difusi pasif lewat sawar darah-otak dan sawar darah-CSSdi pleksus koroid untuk obat yang larut lemak dan
  3. Ikut bersama aliran CSS melaui vili araknoid ke sinus vena untuk semua obat dan metabolit endogen, larut lemak maupun tidak, ukuran kecil maupun besar.

Sawar uri yang memisahkan darah ibu dan darah janin terdiri dari sel epitel vili dan sel endotel kapiler janin; jadi tidak berbeda dengan sawar saluran cerna. Karena itu semua obat oral yang diterima ibu akan masuk ke sirkulasi janin. Distribusi obat dalam tubuh janin mencapai keseimbangan dengan darah ibu dalam waktu paling cepat 40 menit.  


No comments:

Post a Comment

silakan menggunakan hati nurani dan tidak mengandung sara, sex dan politik