Latest Post

Tuesday, 22 March 2016

باسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم و رحمه الله وبركاته
 
Segala puji dan syukur kehadirat Alloh SWT serta solawat .dan salam kita panjatkan kepada nabi muhammad SAW
Blog Ilmu Farmasi dibuat Insyaalloh untuk mempermudah bagi mahasiswa farmasi untuk mencari referensi belajar dan tugas presentasi yang .berisi rekap buku dan materi sewaktu kuliah
.Semoga blog ini bermanfaat


 

Tuesday, 15 March 2016

2.2 Distribusi

Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung sirkulasi darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas dua fase, berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusi sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal dan otak. 

Selanjutnya distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi cepat karena celah antarsel endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terutama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein. 

Obat dapat terakumulasi dalam sel jaringan karena ditransfort secara aktif, atau lebih sering karena ikatannya dengan komponen intrasel yaitu protein, fosfolipid, atau nukeloprotein. Misalnya pada penggunaan kronik, kuinakrin akan menumpuk dalam sel hati. Jaringan lemak dapat berlaku sebagai reservoar yang penting untuk obat larut lemak misalnya tiofental. Protein plasma juga merupakan reservoar obat. Obat yang bersifat asam terutama terikat pada albumin plasma, sedangkan obat yang bersifat basa pada asam α1 glikoprotein. Tulang dapat menjadi reservoar untuk logam berat misalnya timbal (Pb) atau radium.

Cairan transeluler misalnya asam lambung, berlaku sebagai reservoar untuk obat yang bersifat basa lemah akibat perbedaan pH yang besar antara darah dan cairan lambung. Saluran cerna juga berlaku sebagai reservoar untuk obat oral yang diabsorpsi secara lambat, misalnya obat dalam sediaan lepas lambat. Obat yang terakumulasi ini berada dalam keseimbangan dengan obat dalam plasma dan akan dilepaskan sewaktu kadar plasma menurun, maka adanya reservoar ini dapat memperpanjang kerja obat.

Redistribusi obat dari tempat kerjanya ke jaringan lain merupakan salah satu faktor yang dapat menghentikan kerja obat. Fenomen ini hanya terjadi pada obat yang sangat larut lemak, misalnya tiopental. Karena aliran darah ke otak sangat tinggi, maka setelah disuntikan IV, obat ini mencapai kadar maksimal dalam otak. Tetapi karena kadar plasma dengan cepat menurun akibat difusi ke jaringan lain, maka tiofental dalam otak juga secara cepat berdifusi kembali ke dalam plasma untuk selanjutnya diredistribusi ke jaringan lain.

Distribusi dari sirkulasi ke SSP sulit terjadi karena obat harus menembus sawar khusus yang dikenal sebagai sawar darah-otak. Endotel kapiler otak tidak mempunyai celah antarsel maupun vesikel pinositotik, tetapi mempunyai banyak taut cekat (tight junction). Disamping itu terdapat sel glia yang mengelilingi kapiler otak ini. Dengan demikian, obat tidak hanya harus melintasi endotel kapiler tetapi juga membran sel glia perikapiler untuk mencapai cairan interstisial jaringan otak. Karena itu, kemampuan obat untuk menembus sawar dara-otak hanya ditentukan oleh, dan sebanding dengan kelarutan bentuk non ion dalam lemak. Obat yang seluruhnya atau hampir seluruhnya dalam bentuk ion, misalnya amonium kuatener atau penisilin, dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke otak dari darah. Penisiline dosis besar sekali dapat masuk ke otak, tetapi penisilin dosis terapi hanya dapat masuk ke otak bila terdapat radang selaput otak, karena permeabilitas meningkat di tempat radang. Eliminasi obat dari otak kembali ke darah terjadi melalui tiga cara yakni:

  1. Secara transport aktif melalui epitel pleksus koroid dari cairan serebrospinal (CSS) ke kapiler darah untuk ion-ion organik misalnya penisiline.
  2. Secara difusi pasif lewat sawar darah-otak dan sawar darah-CSSdi pleksus koroid untuk obat yang larut lemak dan
  3. Ikut bersama aliran CSS melaui vili araknoid ke sinus vena untuk semua obat dan metabolit endogen, larut lemak maupun tidak, ukuran kecil maupun besar.

Sawar uri yang memisahkan darah ibu dan darah janin terdiri dari sel epitel vili dan sel endotel kapiler janin; jadi tidak berbeda dengan sawar saluran cerna. Karena itu semua obat oral yang diterima ibu akan masuk ke sirkulasi janin. Distribusi obat dalam tubuh janin mencapai keseimbangan dengan darah ibu dalam waktu paling cepat 40 menit.  


Monday, 7 March 2016

2.1.5 Pemberian Topikal


Pemberian Topikal Pada Kulit

Tidak banyak obat yang dapat menembus kulit utuh. Jumlah obat yang diserap tergantung pada luas permukaan kulit yang terpajan serta elautan obat dalam lemak karena epidermis bertindak sebagai sawar lemak. Dermis permiabel terhadap banyak zat sehingga absorpsi terjadi jauh lebih mudah bila kulit terkelupas atau terbakar. Beberapa zat kimia yang sangat larut lemak misalnya insektisida organofosfat, dapat menimbulkan efek toksik akibat absorpsi melalui kulit ini. Inflamasi dan keadaan lain yang meningkatkan aliran darah kulit juga akan memacu absorpsi melalui kulit. Absorpsi dapat ditingkatkan dengan membuat suspensi obat dalam minyak dan menggosokkannya ke kulit atau dengan menggunakan penutup diatas kulit yang terpajan. Obat yang banyak digunakan untuk penyakit kulit sebagai salpe kulit adalah antibiotik, kortikosteroid, antihistamin, dan fungisid, tetapi beberapa obat sitemik dibuat juga sebagai sediaan topikal, misalnya nitrogliserin dan skopolamin.

Pemberian Topikal Pada Mata


Cara ini terutama dimaksudkan untuk mendapatkan efek lokal pada mata, yang biasanya memerlukan absorpsi obat melalui kornea. Absorpsi terjadi lebih cepat bila kornea mengalami infeksi atau trauma. Absorpsi sistemik melalui saluran nasolakrimal sebenarnya tidak diinginkan; absorpsi disini dapat menyebabkan efek sitemik karena obat tidak mengalami lintas pertama dihati, maka β-bloker yang diberikan sebagai tetes mata misalnya pada glaukoma dapat menimbulkan toksisitas sistemik.

Friday, 4 March 2016

2.1.4 Pemberian Melalui Paru-Paru




Cara inhalasi hanya dapat dilakukan untuk obat yang berbentuk gas atau cairan yang mudah menguap 
misalnya anastetik umum, dan untuk obat lain yang dapat diberikan dalam bentuk aerosol. Absorpsi terjadi melalui epitel paru dan mukosa saluran napas. Keuntungannya, absorpsi terjadi secara cepat karena luas permukaan absorpsinya luas, terhindar eliminasi lintas pertama di hati, dan pada penyakit paru-paru misalnya asma bronkial, obat dapat diberikan langsung pada bronkus. Sayangnya cara pemberian ini diperlukan alat dan metoda khusus yang agak sulit dikerjakan, sukar mengatur dosis , sering obatnya mengiritasi epitel paru. 

2.1.3 Pemberian secara suntikan




Keuntungan pemberian obat secara suntikan (parenteral) ialah
  • Efeknya timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian oral
  • Dapat diberikan pada penderita tidak kooperatif, tidak sadar atau muntah-muntah
  • Sangat berguna dalam keadaan darurat.

Kerugiannya ialah:
  • Dibutuhkan cara asepsis
  • Menyebabkan rasa nyeri
  • Ada bahaya penularan hepatitis serum
  • Sukar dilakukan oleh penderita
  • Tidak ekonomis

Pemberian intravena (IV) tidak mengalami tahap absorpsi, maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respon penderita. Larutan tertentu yang iritatif hanya dapa diberikan dengan cara ini karena dinding pembuluh darah relatif tidak sensitif dan bila disuntikan perlahan-lahan, obat segera diiencerkan oleh darah.

Kerugiannya efek toksik mudah terjadi karena kadar obat yang tinggi segera mencapai darah dan jaringan. Disamping itu, obat yang disuntikan (IV) tidak dapat ditarik kembali. Obat dalam larutan minyak yang mengendapkan konstituen darah, dan yang menyebabkan hemolisis, tidak boleh diberikan dengan cara ini,. Penyuntikan IV harus dilakukan perlahan-lahan sambil terus mengawasi respon penderita.

Suntikan subkutan (SK) hanya boleh digunakan untuk obat yang tidak menyebabkan iritas jaringan. Absorpsi biasanya terjadi lambat dan konstan sehingga efeknya bertahan lama. Obat dalam bentuk suspensi diserap lebih lambat daripada dalam bentuk larutan. Pencampuran obat dengan vasokontriktor juga akan memperlambat absorpsi obat tersebut. Obat dalam bentuk padat yang ditanamkan di bawah kulit dapat diabsorpsi selama beberapa minggu atau beberapa bulan.

Pada suntikan intramuskular (IM), kalarutan obat dalam air menetukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi. Obat yang sukar larut dalam air pada pH fisiologik misalnya digoksin, fenitoin, dan diazepam akan mengendap ditempat suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat, tidak lengkap dan tidak teratur. Obat yang larut dalam air diserap cukup cepat tergantung dari aliran darah di tempat suntikan. Absorpsi lebih cepat di deltoid atau vastus lateralis daripada di gluteus maksimus. Obat-obat yang larut minyak atau bentuk suspensi akan diabsorpsi dengan sangat lambat dan konstan (suntikan depo) misalnya penisiline. Obat yang terlalu iritatif untuk disuntikan secara SK kadang-kadang dapat diberikan secara IM.

Suntikan intratekal, yakni suntikan langsung ke dalam subaraknoid spinal, dilakukan bila diinginkan efek obat yang cepat dan setempat pada selaput otak atau sumbu serebrospinal, seperti pada anastesia spinal atau pengobatan infeksi SSP yang akut. 

Suntikan intraperitoneal tidak dilakukan pada manusia karena bahaya infeksi dan adesi terlalu besar.



2.1.2 Pemberian Obat per Oral





Cara ini merupakan cara pemberian obat yang paling umum dilakukan karena mudah, aman,  dan murah, kerugiannya adalah banyak faktor yang dapat mempengaruhi bioavailibilitasnya (tabel 01), obat dapat mengiritasi saluran cerna, dan perlu kerja sama dengan penderita (tidak bisa dilakukan pada pasien koma).

Absorpsi obat melalui saluran cerna pada umumnya tarjadi secara difusi pasif karena itu absorpsi mudah terjadi bila obat dalam bentuk non ion dan mudah larut dalam lemak . Absorpsi obat di usus halus selalu lebih cepat dibandingkan dilambung karena permukaan epitel usus halus lebih jauh lebih luas dibandingkan dengan epitel lambung. Selain itu, epitel lambung  tertutup lapisan mukus yang tebal dan mempunyai tahanan listrik yang tinggi. Oleh karena itu, peningkatan kecepatan pengosongan lambung biasanya akan meningkatkan absorpsi obat, begitu juga sebaliknya.  Akan tetapi , perubahan dalam kecepatan pengosongan lambung atau motilitas saluran cerna biasanya tidak mempengaruhi jumlah obat yang di aborpsi atau yang mencapai sirkulasi sistemik  kecuali pada tiga hal berikut :

  1. Obat yang absorpsinya lambat karena sukar larut dalam cairan usus (misalnya digoksin, difenilhidantoin, prednison) memerlikanwaktu transit dalam saluran cerna yang cukup panjang untuk kelengkapan absoprsinya.
  2. Sediaan salut enterik atau sediaan lepas lambat yang absorpsinya kurang baik atau inkonsisten akibat penglepasan obat di lingkungan berbeda, memerlukan waktu transit yang lama dalam usus untuk meningkatkan jumlah obat yang diserap.
  3. Pada obat-obat yang mengalami metabolisme di saluran cerna, misalnya penisiline G dan eritromisin oleh asam lambung, levodopa dan klorpromazin oleh enzim dalam dinding saluran cerna, pengosongan lambung dan transit gastrointestinal yang lambat akan mengurangi jumlah obat yang diserap untuk mencapai sirkulasi sistemik. Untuk obat yang waktu paruh eliminasinya pendek misal prokainamid, perlambatan absorpsi akan menyebabkan kadar terapi tidak dapat dicapai, meskipun jumlah absorpsinya tidak berkurang.
Absorpsi secara transport aktif terjadi terutam diusus halus untuk zat-zat makanan yaitu glukosa dan gula lain, asam amino, basa purin dan pirimidin, mineral, dan beberapa vitamin. Cara ini juag terjadi untuk obat-obat yang struktur kimianya mirip struktur zat makanan tersebut, misalnya levodopa, metildopa, 6-merkaptopurin, dan 5- fluorourasil.

Kecepatan absorpsi obat bentuk padat ditentukan oleh kecepatan disintegrasi dan disolusinya sehingga tablet yang dibuat oleh pabrik yang berbeda dapat berbeda pula bioavailibilitasnya. Adakalanya sengaja dibuat sediaan waktu disolusinya lebih lama untuk memperpanjang masa absorpsi sehingga obat dapat diberikan dengan interval lebih lama. Sediaan ini disebut sediaan lepas lambat (sustained-release). Obat yang dirusak oleh asam lambung atau yang menyebabkan iritasi lambung sengaja dibuat tidak terdisintegrasi di lambung yaitu sebagai sediaan salut enterik (enteric-coated).

Absorpsi dapat pula terjadi di mukosa mulut dan rektum walaupun permukaan absorpsinya tidak terlalu luas. Nitogliserin adalah obat yang sangat poten dan larut baik dalam lemak maka pemberian sublingual atau perkutan sudah cukup untuk menimbulkan efek. Selain itu, obat terhindar dari metabolisme lintas pertama di hati karena aliran darah dari mulut tidak melalui hati melainkan langsung ke vena kava superior. Peberian per rektal sering diperlukan pada penderita yang muntah-muntah, tidak sadar, dan pasca bedah. Metabolisme lintas pertama di hati lebih sedikit dibandingkan dengan pemberian per oral karena hanya sekitar 50% obat yang diabsorpsi dari rektum akan melalui sirkulasi portal. Namun banyak obat yang mengiritasi mukosa rektum, dan absorpsi di sana sering tidak lengkap dan tidak teratur.

2.1.1 Bioekuivalensi





Bioekuivalensi  adalah kesetaraan jumlah obat dalam sediaan belum tentu menghasilkan kadar obat yang sama dalam darah dan jaringan. Dua sediaan obat yang berekuivalensi kimia sama tetapi tidak berekuivalensi biologik dikatakan bioinekuivalensi. Ini terutama terjadi pada obat-obat yang absorpsinya lambat karena sukar larut dalam cairan saluran cerna, misalnya digoksin dam difenilhidantoin, dan pada obat yang mengalami metabolisme selama absorpsinya, misalnya eritromisin dan levodova perbedaan bioavailabilitas sampai dengan 10% umumnya tidak menimbulkan perbedaan berarti  dalam efek kliniknya, sehingga memperlihatkan ekuivalesni terapi.  Bioinekuivalensi lebih dari 10% dapat menimbulkan inekuivalensi terapi, terutama untuk obat-obat yang index terapinya sempit, mislanya digoksin, difenilhidantoin, teofilin.

Thursday, 3 March 2016

2.1 Absorpsi dan Bioavailabilitas


Kedua istilah tersebut tidak sama artinya. Absorpsi , yang merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, Menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas. 

Istilah ini menyatakan, jumlah obat dalam persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh / aktif. Ini terjadi karena, untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sirkulasi sistemik. Sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus dan Metabolisme lintas pertama (first pass metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. 

Obat demikian mempunyai bioavailibilatas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavailibilatas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral misalnya lidokain, sublingual misalnya nitrogliserin, rektal, atau memberikannya bersama makanan.

Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi bioavailibilitas obat pada pemberian oral dapat dilihat pada tabel  01.

Tabel 01. Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Bioavailibilitas Obat Oral

Friday, 26 February 2016

2. Farmakokinetik

Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai ditempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian, dengan atau tanpa biotrasformasi, obat diekresikan dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut proses farmakokinetik dan berjalan serentak seperti terlihat pada gambar 1.1



Gambar 1.1 Berbagai proses farmakokinetika obat

Di tubuh manusia, obat harus menembus sawar (barrier) sel di berbagai jaringan. Pada umumnya obat melintasi lapisan sel ini dengan menembusnya, bukan dengan melewati celah antar sel, kecuali pada endotel kapiler. Karena itu peristiwa terpenting dalam proses farmakokinetik ialah transport lintas membran. Membran sel terdiri dari dua lapisan lemak yang membentuk fase hidrofilik di kedua sisi membran dan fase hidrofobik diantaranya. Molekul-molekul protein yang tertanam di kedua sisi membran atau menembus membran berupa mozaik pada membran. Molekul-molekul protein ini membentuk kanal hidrofilik untuk transport air dan molekul kecil lainnya yang larut dalam air.                                                                                                       

Cara-cara transport obat lintas membran  yang terpenting ialah difusi pasif dan transfort aktif; yang terkahir melibatkan komponen-komponen membran sel dan membutuhkan energi. Sifat fisiko-kimia obat yang menentukan cara transfort ialah bentuk dan ukuran molekulkelarutan dalam airderajat ionisasi, dan kelarutan dalam lemak. Umumnya absorpsi dan distribusi obat terjadi secara difusi pasif. Mula-mula obat harus berada dalam larutan air pada permukaan membran sel, kemudian molekul obat akan melintasi membran dengan melarut dalam lemak membran. Pada proses ini, obat bergerak dari sisi yang kadarnya lebih tinggi ke sisi lain. Setelah mencapai optimal atau taraf mantap (steady state) dicapai. Kadar obat bentuk non ion di kedua sisi membran akan sama.                                                                                                         

Kebanyakan obat obat berupa elektrolit lemah yakni asam lemah atau basa lemah. Dalam larutan, elektrolit lemah ini akan terionisasi. Derajat ionisasi ini tergantung dari pKa obat dan pH larutan. Untuk obat asam, pKa rendah berarti berarti relatif kuat, sedangkan untuk obat basa, pKa tinggi yang relatif kuat. Bentuk non ion umumnya larut baik dalam lemak sehingga mudah berdifusi melintasi membran. Sedangkan bentuk ion, sukar melintasi membran karena sukar larut dalam lemak. Pada steady state kadar obat bentuk nnon ion saja yang sama di kedua sisi membran, sedangkan kadar obat bentuk ionnya tergantung dari perbedaan pH di kedua sisi membran.                   

Membran sel merupakan membran semipermiabel artinya hanya dapat dirembesi air dan molekul-molekul kecil. Air berdifusi atau mengalir melalui kanal hidrofilik pada membran akibat perbedaan tekanan hidrostatik maupun tekanan osmotik. Bersama aliran air akan terbawa zat-zat terlarut bukan ion yang berat molekulnya kurang dari 100-200 misalnya urea, etanol dan antipirin. Meskipun berat atomnya kecil, ion anorganik ukurannya membesar karena mengikat air sehingga tidak dapat melewati kanal hidrofilik bersama air. Kini telah ditemukan kanal selektif untuk ion-ion Na, K, Ca.                                                                                                         

Transfort obat melintasi endotel kapiler terutama melalui celah-celah antarsel, kecuali di susunan saraf pusat (SSP). Celah antar sel endotel kapiler demikian besarnya sehingga dapat meloloskan semua molekul yang berat molekulnya kurang dari 69000 (BM albumin), yaitu semua obat bebas, termasuk yang tidak larut lemak dan bentuk ion sekalipun. Proses ini berperan berperan dalam absorpsi obat setelah dalam pemberian parenteral dan dalam filtrasi lewat membran glomerulus di ginjal.                                                                                             

Pinositosis ialah cara transfort dengan membentuk vesikel, misalnya untuk makromolekul seperti protein. Jumlah obat yang diangkut dengan cara ini sangat sedikit.                       

Transfort obat secara aktif biasanya terjadi pada sel saraf, hati dan tubuli ginjal. Proses ini membutuhkan energi yang diperoleh dari aktivitas membran sendiri, sehingga zat dapat bergerak melawan perbedaan kadar atau potensial listrik. Selain dapat dihambat secara kompetitif, transfort aktif ini bersifat selektif dan memperlihatkan kapsitas maksimal (dapat mengalami kejenuhan). Beberapa obat bekerja mempengaruhi transport aktif zat-zat endogen dan transport aktif suatu obat dapat pula dipengaruhi oleh obat lain.                                               

Difusi terfasilitasi (Facilited diffusionialah suatu proses transport yang terjadi dengan bantuan suatu faktor pembawa (carrier) yang merupakan komponen membran sel tanpa menggunakan energi sehingga tidak dapat melawan perbedaan kadar maupun potensial listrik. Proses ini bersifat selektif, terjadi pada zat endogen yang transportnya secara difusi biasa terlalu lambat, misalnya untuk masuknya glukosa ke dalam sel perifer.